Halaman

Kamis, 01 Mei 2014

Mengakarnya Praktek Korupsi


DAMPAK KORUPSI DAN MENGAKARNYA PRAKTEK KORUPSI dalam DESENTRALISASI
di INDONESIA
Oleh:
Sukma Yuliasri
KORUPSI dalam KEHIDUPAN
          Korupsi (bahasa latin: corruption darikata kerja corrumpere mempunya arti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok). Dalam arti luas,  korupsi berarti penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan priibadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintah oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang ilegal di tempat lain.
          Indonesia di kenal sebagai negara dengan tingkat korupsi  yang paling buruk di muka bumi. Mewabahnya berbagai bentuk abuse of poer  tersebut juga di tandai dengan tidak diperolehnya pelayanan yang adil dari penyelenggara negara. Transparasi dalm pemakaian keuangan negara sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Kesadaran kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi  dan nepotisme (KKN) juga belum terlalu tinggi, bahkan seringkali juga menghadapi represi dari rezim yang sedang berkuasa. Akses masyarakat terhadap informasi dan transportasi penyelenggaraan pemerintah juga banyak terhambat, yang pada akhirnya memberikan peluang praktek KKN. Penegakan hukum terhadap penjarah uang negara dan rakyat juga seringkali terabaikan dan cenderung tunduk pada kepentingan politik tertentu. (Walfarianto, 2005:11-12)

KORUPSI dan DESENTRALISASI
          Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia menurut pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legeslatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial politik ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka peningkatan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan  diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korupsi. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat.
          Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan, dalam hal ini pemerintah daerah sebagai faktor penghambat terbesar pada investasi. Hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy  yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelican marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Ini jelas menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan karena terjadi korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama itu berubah. Kondisi sosial politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi daerah.

          Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membuat pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government expenditure) karena para investor  hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menaikan semaksimal mungkin pendapatan dari pajak dan retribusi melalui berbagai perda yang menciptakan peluang besar untuk melakukan praktek korupsi.
          Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya  high cost economy yang melahirkan munculnya korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi. Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi.

DAMPAK NEGATIF PRAKTEK KORUPSI
1.    DEMOKRASI
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintah yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban umum; dan korupsi di pemerintah publik menghasilkan ketidakseimbangan  dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
4
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintah dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2.    EKONOMI
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintah. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Korupsi juga menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor public dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika adalah korupsi yang berupa penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka ada ejekan yang sering benar bahwa ada dictator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan dictator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidakstabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintah baru sering meyegel asset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka diluar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar